Skip to main content

Membentuk Manusia Beradab

Pada hari Selasa (9 Januari 2007), saat berada di Kuala Lumpur, saya mendapat hadiah buku terbaru dari Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, yang berjudul “Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistemologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa”, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.
Bagi peminat bidang pemikiran Islam, nama Prof. Wan Mohd Nor tidaklah asing. Berbagai buku karya Prof. Wan Mohd Nor telah diterjemahkan ke sejumlah bahasa: Melayu, Indonesia, Turki, Jepang, Parsi, Rusia, dan Bosnia. Karya-karyanya antara lain: The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country (New York, London, 1989), The Beacon on the Crest of a Hill (ISTAC, 1991), Budaya Ilmu (Nurin, 1988), Penjelasan Budaya Ilmu (Dewan Bahasa Pustaka, 1990), The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Nuquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (ISTAC, 1998). Buku terakhir ini telah diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dan juga bahasa Rusia. Edisi bahasa Rusia diterjemahkan sejumlah cendekiawan di bawah pimpinan Dr Said Kiamilev dari Institute of Islamic Culture, Moskow.
Salah satu bagian menarik dalam buku Masyarakat Islam Hadhari yang perlu kita renungkan bersama adalah tentang tujuan pendidikan Islam, yakni untuk membentuk manusia yang beradab, manusia yang mempunyai adab. Kita tentu tidak asing dengan istilah adab, beradab, dan peradaban. Karena sila kedua Pancasila juga menyatakan: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tetapi, apa arti adab dalam pandangan Islam? Hal ini dijelaskan oleh Prof. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Prof. Wan Mohd Nor dalam bukunya.
Adab, menurut Prof. al-Attas, adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertinggi dari adab ialah mengenal Allah SWT dan ‘meletakkan’-Nya di tempat-Nya yang wajar dengan melakukan ibadah dan amal shaleh pada tahap ihsan. Dalam bahasa Persia, orang yang mempunyai adab disebut ‘ba-adab’ dan yang tidak mempunyai adab disebut ‘bi-adab’. Jika konsep adab ini diterapkan dalam masyarakat, maka akan terbentuklah satu peradaban yang dalam bahasa Melayu disebut ‘tamadun’, yang berbasiskan pada ‘ad-din’.
Pembentukan manusia yang beradab, sebagai tujuan pendidikan Islam, sangatlah penting untuk kita renungkan saat ini. Kita mempunyai banyak lembaga pendidikan Islam, mulai TK sampai perguruan tinggi. Apakah tujuan itu sudah tercapai? Seperti disebutkan, hasil tertinggi dari manusia beradab adalah manusia yang mengenal Allah SWT dan ‘meletakkan’-Nya ditempat yang semestinya sebagai Sang Pencipta dan satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Ini adalah penegasan Tauhid. Karena itu, menurut Prof. Wan Mohd Nor, syirik memang sebuah tindakan yang sangat tidak beradab.
Orang yang beradab, menurut Prof. Wan Mohd Nor, juga mampu meletakkan pada tempatnya, mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang haq dan mana yang bathil. Dalam bidang keilmuan, dia harus menempatkan pada tempatnya, mana ilmu yang fardhu ‘ain, dan mana ‘ilmu yang fardhu kifayah; mana ilmu yang penting, dan mana yang tidak penting; mana ulama atau ilmuwan yang besar dan mana ilmuwan yang biasa-biasa saja. Tidaklah sama antara Einstein dengan sarjana fisika yang baru lulus S-1 yang belum menghasilkan karya ilmiah apa pun. Tidaklah sama antara Imam Syafii dengan Nasr Hamid Abu Zayd.
Dari manakah orang dapat menjadi beradab? Tentu dengan ilmu (knowledge) yang benar. Karena itulah, dalam bukunya ini, Prof. Wan Mohd Nor banyak membahas tentang konsep ilmu dan epistemologi Islam. Bahkan, salah satu bab dalam buku ini diberi judul: “Tafsir Bukanlah Hermeneutik”. Seperti diketahui, di berbagai perguruan tinggi Islam Indonesia, hermeneutika telah dijadikan mata kuliah wajib, dengan tujuan sebagai metode tafsir alternatif terhadap al-Quran. Bahkan, dalam penelitian Litbang Departemen Agama, hermeneutika telah dijadikan sebagai metodologi penafsiran al-Quran oleh kelompok-kelompok liberal di Indonesia.
Dalam bukunya ini, Prof. Wan Mohd. Nor mengingatkan, bahwa hermeneutika adalah gelombang ganas yang memukul pantai pemikiran keagamaan Islam di seluruh dunia. Hermeneutika adalah cara baru dalam memahami Kitab Suci al-Quran yang diambil dari kaedah dan pemikiran Barat. Dalam masalah hermeneutika ini, Prof. Wan tidak segan-segan untuk memberikan kritik terhadap gurunya sendiri di Chicago University, yakni Fazlur Rahman, meskipun tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap sumbangan Fazlur Rahman dalam aspek-aspek lain dalam pemikiran Islam. Prof. Wan menekankan, bahwa Islam sudah mempunyai Ilmu Tafsir yang berbeda dengan hermeneutika. Secara terperinci, dijelaskan, bagaimana perbedaan antara Ilmu Tafsir al-Quran dengan tradisi hermeneutika yang berkembang dalam masyarakat Yunani, India, Yahudi, Kristen dan Barat modern.
Ditulis dalam buku ini, bahwa Tafsir ialah satu-satunya ilmu yang berkaitan langsung dengan kenabian, karena Nabi Muhammad SAW telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah kenabian, seperti disebutkan dalam QS 16:44: “agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka.” Oleh karena al-Quran diwahyukan dalam bahasa Arab dengan mengikuti kaedah-kaedah retorik orang Arab, maka orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad SAW memahami makna ayat-ayat al-Quran serta situasi-situasi penurunannya (sha’n atau asbab al-nuzul). Meskipun demikian, terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran al-Quran yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan atau perilaku yang kemudian menjadi sunnah. Karena itu, pengetahuan tentang hadits atau sunnah Nabi menjadi syarat mendasar dalam memahami atau menafsirkan al-Quran.
Metode penafsiran al-Quran ini, misalnya, berbeda dengan tradisi penafsiran dalam masyarakat Yunani yang tidak mempercayai nabi atau wahyu. Pandangan-pandangan keagamaan, tradisi, adat-istiadat mereka didasarkan pada mitologi dan puisi, khususnya oleh Homer dan Hesiod, dan kepada berbagai spekulasi para filosof mereka. Tafsiran-tafsiran mitologi dan puisi bisa jadi bersifat sangat subjektif atau ditentukan oleh suasana politik keagamaan yang berlaku. Kaedah terpenting yang digunakan ialah kaedah kiasan (allegory), suatu tradisi Yunani yang dipelopori oleh Theagenes dari Rhegium (abad ke-6 SM). Panafsiran alegoris umumnya melakukan penolakan atau pengabaian terhadap makna literal.
Karena sifat al-Quran yang khas, sebagai kitab wahyu yang tanzil, yang makna dan lafaznya (verbatim) diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, maka cara menafsirkannya pun berbeda dengan cara menafsirkan puisi Yunani, Kitab Veda, atau Bibel Yahudi dan Kristen. Mengutip pendapat Prof. al-Attas, Prof. Wan Mohd. Nor mencatat bahwa tafsir al-Quran memiliki ciri yang unik sebagai suatu sains yang tidak bersifat spekulatif. Tafsir yang benar adalah yang berdasarkan kepada ilmu pengetahuan yang mapan (established) tentang “bidang-bidang makna” seperti yang disusun dalam bahasa Arab, sebagaimana yang diatur dan diaplikasikan dalam al-Quran serta tercermin dalam hadits dan sunnah. Maka, menurut Prof. al-Attas: dalam tafsir tidak ruang kepada tekanan atau andaian yang tidak berasas, atau ruang kepada penafsiran-penafsiran yang berdasarkan pemahaman yang subjektif atau yang hanya berdasarkan ide tentang relativisme sejarah, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam susunan-susunan konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa kata kitab suci al-Quran. Maka, simpul Prof. Wan Mohd Nor: “hasil-hasil kerja tafsir yang benar merupakan ilmu pengetahuan yang pasti, sama pastinya dengan sains-sains yang tepat seperti fizik dan matematik.”
Dalam perkembangan umum hermeneutika, akan ditemukan pemahaman dikotomis yang menyatakan bahwa agama adalah mutlak dan ilmu agama adalah relatif, karena merupakan produk akal manusia yang spekulatif. Atau ada pemikir yang menulis, bahwa agama yang diwahyukan adalah bersifat ketuhanan, tetapi ilmu agama bersifat kemanusiaan karena merupakan hasil gubahan manusia. Dalam buku ini, Prof. Wan Mohd Nor memberikan kritik yang mendasar terhadap paham seperti ini. Dijelaskan, bahwa aqidah Islam menetapkan bahwa manusia mampu mencapai tahap ‘ilm, yakni keyakinan, baik melalui panca indera, penggunaan akal yang benar, maupun melalui kabar yang benar dan meyakinkan. Keyakinan, baik pada taraf ilmul yaqin, aiunul yaqin, maupun haqqul yaqin, adalah anugerah Allah Ta’ala kepada manusia. Karena itu, pada tahap keyakinan, hasil pencapaian keilmuan manusia bukan lagi bersifat manusia, tetapi bersifat Ilahi. Ilmu yang mencapai tahap yaqin, yakni yang bukan pada tahap hipotesis, teori, syak, zhan, dugaan, atau waham, adalah akibat dari “pengajarah” Allah SWT, dan bersifat universal, bukan relatif.
Karena begitu pentingnya penggunaan metodologi penafsiran yang benar dan sangat berbahayanya penggunaan metodologi penafsiran yang salah, maka masalah hermeneutika ini perlu mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan ulama dan cendekiawan Muslim. Banyak yang tidak memahami, bahwa Gerakan Pembaruan Islam yang dimulai awal tahun 1970-an di Indonesia adalah sebuah pembongkaran terhadap metodologi tafsir dengan menggunakan hermeneutika. Gerakan ini telah berkembang semakin liar dalam bentuk liberalisasi Islam, yang bukan hanya berusaha membongkar metode penafsiran al-Quran, tetapi juga berusaha membongkar al-Quran itu sendiri.
Dalam hal inilah, penjelasan tentang hermeneutika dan tafsir dalam buku Prof. Wan Mohd Nor ini sangat penting untuk dikaji. Diingatkan dalam penutup bab ini, bahwa upaya pembangunan peradaban Islam yang berpusat kepada penguasaan berbagai ilmu pengetahuan, semuanya berpusat kepada pemahaman yang benar terhadap ajaran al-Quran al-Karim. “Jikalau sumber yang teragung ini disalahfahami kerana menggunakan kaedah yang menyamakannya dengan kitab-kitab hasil ciptaan manusia, maka ini bermakna umat Islam telah biadab terhadap Allah SWT dan Nabi-Nya yang terakhir.”
Ketika buku ini dibedah di Kelantan, pada 17 Desember 2007, salah seorang pembahasanya adalah Dr. Tatiana A. Denisova, seorang ilmuwan Rusia beragama Kristen Ortodoks. Dalam makalahnya, Tatiana memperjelas perbedaan antara Ilmu Tafsir al-Quran dengan hermeneutika yang diterapkan dalam tradisi Kristen dan masyarakat Barat modern. Menurut Tatiana, ilmu hermeneutika Kristen digunakan terutama untuk menjelaskan teks Bibel yang timbul ratusan tahun sebelumnya dan maknanya sudah kurang jelas. Hermeneutika Kristen mendasarkan kepada ilmu eksegetika yang menganggap Bibel sebagai Kata Tuhan (Revelation) yang tidak boleh diubah dan/atau disangsikan. Tetapi, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memuat juga yang bukan kata-kata Tuhan itu sendiri. Di dalam teks-teks tersebut terdapat cerita-cerita manusia mengenai peristiwa-peristiwa sejarah suci itu.
Tatiana membenarkan pernyataan Prof. Wan Mohd Nor, bahwa “tujuan penulis-penulis gospel itu bukan untuk menulis sejarah yang objekyif, tetapi untuk tujuan-tujuan penyebaran agama Nasrani (evangelical purpose), yang turut mengakibatkan lahirnya tafsiran-tafsiran simbolik (allegorical commentaries) yang berlebihan. Salinan-salinan kesusastraan Bibel ini (biblical literature) selanjutnya diakui pula, bahawa ia telah mengalami penyuntingan-penyuntingan berkala agar dapat disesuaikan dengan keperluan zaman yang berubah.”
Dalam kesimpulannya tentang hermenutika dan tafsir, Dr. Tatiana yang merupakan peneliti di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, mendukung gagasan Prof. Wan Mohd Nor, sebaiknya umat Islam tetap menumpukan penggunaan Ilmu Tafsir dalam menafsirkan al-Quran, sebagaimana telah dilakukan selama ratusan tahun oleh para tokoh Islam.
Dalam situasi dimana konsep keilmuan Islam mendapatkan serangan-serangan gencar – terutama dari kalangan cendekiawan sendiri – tentu menjadi semakin tidak mudah untuk membentuk manusia yang beradab. Tidak mungkin membentuk manusia yang beradab, jika ilmu dirusak, sehingga antara yang benar dan salah sudah tidak dapat dibedakan lagi. Yang lebih rumit lagi, yang menyebarkan kebathilan pun, berhujjah dengan ayat-ayat al-Quran pula. Mudah-mudahan kita masih diberi kemampuan oleh Allah untuk melihat cahaya kebenaran, betapa pun kecilnya cahaya itu. Kebatilan dan kesesatan adalah kegelapan. Dan ilmu yang benar adalah cahaya yang senantiasa menuntun orang-orang yang beriman di jalan kebenaran. (Kuala lumpur, 12 Januari 2007).

Comments

TULISAN PALING POPULER