Skip to main content

Syubhat..! Berdalih dengan Takdir untuk Berbuat Maksiat.

Pembaca yang budiman, kita semua sudah mengetahui bahwa salah satu rukun iman adalah beriman kepada takdir, Sehingga kita wajib meyakini bahwa Segala sesuatu telah ditakdirkan oleh Allah, entah itu takdir yang baik maupun yang buruk, nikmat dan azab, bahkan iman dan kufur juga ditakdirkan oleh Allah, tidak ada sesuatupun yang luput dari takdir Allah. Pembaca yang budiman, Dalam perkara baik, nikmat dan iman, orang biasanya tidak mempersoalkan dan menyalahkan takdir, karena hal-hal tersebut sesuai dengan keinginannya, tetapi biasanya yang terjadi adalah dalam perkara-perkara yang buruk; seperti musibah dan maksiat. Dalam perkara yang yang buruk ini orang terkadang menyalahkan takdir. Sekarang permasalahannya adalah, apakan dibenarkan jika berdalih kepada takdir dalam masalah ini? Nah Pembaca yang budiman, masalah Inilah yang Insya Allah akan kita ulas pada Rubrik Raddu Syubhat di kesempatan kali ini.

Pembaca yang budiman, ketika kita berdalih atau beralasan dengan takdir dalam perkara musibah, maka sebenarnya hal ini tidak masalah, karena hal ini akan meringankan pengaruh musibah pada diri kita dan membuat kita sabar menerima musibah tersebut, karena sebebarnya musibah itu memang sudah ditakdirkan Allah.

Pembaca yang budiman, Berdalih kepada takdir atas musibah pun pernah dilakukan oleh nabi Adam a.s, dia membela diri dengan alasan takdir pada saat Musa a.s mengkritiknya. Hal ini sebagaimana sebuah hadits shahih bahwasannya Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

“Adam dan Musa berbantah-bantahan, Musa berkata, ‘Wahai Adam, Anda adalah bapak kami, Anda telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.’ Maka Adam berkata kepadanya, ‘Engkau Musa, Allah telah memilihmu dengan kalamNya dan menuliskan untukmu dengan tanganNya. Apakah engkau (pantas) mencelaku berdasarkan suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah menimpaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi saw bersabda, ‘Maka Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa as’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tetapi Pembaca yang budiman, meskipun diperbolehkan, ada yang perlu diperhatikan, bahwa berdalih kepada takdir atas musibah hanya boleh dilakukan setelah musibah terjadi dan bukan sebelum musibah itu terjadi, karena jika sebelumnya maka kita tidak mengetahui apa yang Allah takdirkan, berarti kita berdalih kepada apa yang tidak kita ketahui, di samping itu kita akan menafikan kewajiban berusaha dan mengikuti sunnatullah. Tentunya hal ini bertentangan dengan hadits Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam, yang artinya, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan masing-masing baik, berusahalah meraih apa yang bermanfaat bagimu dan jangan merasa lemah, jika kamu ditimpa sesuatu maka jangan berkata, ‘Seandainya aku melakukan niscaya akan begini begini’, akan tetapi katakanlah, ‘Allah mentakdirkannya dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan’ karena ‘seandainya’ membuka perbuatan setan.” (HR. Muslim).

Oleh karena itu Pembaca yang budiman, janganlah kita memasrahkan perkara kepada takdir sebelum perkara tersebut terjadi, dikarenakan hadits ini meminta kita untuk berusaha, barulah setelah berusaha kita menyerahkannya kepada takdir. Jadi iman kepada takdir justru menuntut kita untuk berusaha.

Pembaca yang budiman, Terkadang takdir juga sering dijadikan sebagai dalih oleh para pelaku kemaksiatan untuk berbuat maksiat. Katanya, “lho.. saya kan berbuat maksiat karena memang sudah ditakdirkan begini, jadi jangan salahkan saya..! “
Mungkin jika sepintas kita dengar, maka seakan-akan ungkapan itu adalah benar, padahal, ini adalah ungkapan yang sangat keliru..!

Pembaca yang budiman, Walaupun segala perkara sudah ditakdirkan, akan tetapi berdalih kepada takdir untuk bermaksiat kepada Allah adalah keliru. Dan jika kita perhatikan, maka ungkapan tersebut sudah dibantah oleh dalil naqli, ‘aqli dan realita.

adapun dari Dalil naqli, adalah firman Allah, “Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.” (Al-An’am: 148). Pembaca yang budiman, pada ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang musyrik menjadikan takdir sebagai alasan berbuat kesyirikan, maka Allah berfirman, “Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para rasul, Sampai mereka merasakan siksaan Kami.” Pembaca yang budiman, ayat Ini menunjukkan bahwa hujjah mereka adalah batil, karena mereka yang beralasan dengan takdir untuk berbuat kesyirikan, maka tetap saja disiksa oleh Allah, dan jika benar niscaya mereka tidak ditimpa siksa Allah.

Adapun Pembaca yang budiman, dalil ‘aqli ataupun logika atas kesalahan mereka yang berdalih kepada takdir atas perbuatan dosa kepada Allah, maka dapat kami katakan mereka bahwa, “Dari mana mereka mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan mereka berbuat dosa sebelum mereka berbuat dosa itu?” tentunya Kita semua tidak mengetahui apa yang Allah takdirkan kecuali setelah hal itu terjadi. Adapun sebelum terjadi, maka kita tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepada kita.
Dan Pembaca yang budiman, kalau seandainya kita tanyakan kepada mereka “Apakah kalian mempunyai ilmu bahwa Allah telah mentakdirkan berbuat dosa sebelum kalian melakukannya?” tentunya mereka akan menjawab, “tidak,” maka kita katakan: ‘Jadi mengapa kalian tidak memperkirakan Allah mentakdirkan kebaikan lalu kalian pun melakukannya? Kenapa yang diperkirakan hanyalah takdir yang buruk, bukankah takdir itu ada yang baik dan ada yang buruk?
Pembaca yang budiman, tentunya mereka tidak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut, dan inilah bukti bahwa melakukan maksiat dengan alasan takdir adalah sesuatu yang keliru dan menyesatkan.

Pembaca yang budiman, secara logika, Kalau misalkan dikatakan kepada kita bahwa untuk menuju Jakarta ada dua jalan: yang pertama bagus dan aman, yang kedua jalannya sulit, rusak lagi berbahaya, kita pastinya akan memilih jalan yang pertama, begitupun dalam beribadah, jadi Mengapa dalam beribadah kita memilih jalan kemaksiatan yang dibalut oleh ancaman dan resiko-resiko berat di neraka, sementara kita menyia-nyiakan jalan keta’atan dan keselamatan, padahal Allah sudah menjamin keamanan bagi yang memilihnya. Sebagaimana Firman Allah subhanahu Wata'ala yang artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan.” (Al-An’am: 82). Nah Pembaca yang budiman, Ini adalah hujjah yang jelas. Lagi pula secara realita, hal ini pernah terjadi di massa Umar bin khottob, yang mana ketika itu ada seorang pencuri yang tidak mau di potong tangannya, dengan alasan bahwa mencuri itu takdir Allah subhanahu Wata'ala, maka Pembaca yang budiman, Umar pun tak semudah itu membiarkan ia bebas tanpa dihukum, Umar mengatakan bahwa “aku memotong tanganmu Juga karena takdir Allah”.

Pembaca yang budiman, demikianlah telah jelas bagi kita bahwa, beralasan dengan takdir untuk berbuat maksiat jelas keliru dan tetap saja mendapatkan siksa, baik hukuman dunia maupun akhirat. Dan satu hal yang hendaknya kita ingat, bahwa takdir itu adalah rahasia Allah yang sudah tertutup rapat dan tidak bisa diprediksi atau diperkirakan. Kewajiban kita hanyalah beramal serta menjauhi kemaksiatan. mudah-mudahan kita mendapatkan akhir hidup yang baik, dan masuk ke dalam syurga dengan ridho Allah subhanahu Wata'ala
Sekian pembahasan Raddu Syubhat kali ini, semoga bermanfaat, Wassalamu 'Alaiku Warahmatullah Wabarokaatuh.




Comments

TULISAN PALING POPULER