Skip to main content

Menjawab Syubhat bolehnya Nikah Mut’ah


Pembaca yang budiman, Mungkin sebagian kita pernah mendengar ada seorang muslimah mengidap penyakit kemaluan semacam spilis atau lainnya. Itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi, kita tidak mengatakannya karena terjerumus ke dalam lembah hitam pelacuran, karena hal itu sangat jauh untuk di lakukan oleh mereka meskipun tidak mustahil, akan tetapi hal ini terjadi di sebabkan praktek nikah mut’ah atau nikah kontrak yang sesungguhnya telah dilarang dalam syariat Islam, yang mana nikah model ini membuat seorang wanita boleh bergonta ganti pasangan dalam nikah mut’ahnya.Mencermati fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi ini terutama di dunia kampus yang sudah kerasukan virus pemirikan nikah mut’ah, maka marilah kita berdoa semoga melalui pembahasan kali Roddu syubhat kali ini, Alloh Subhanallohu wa Ta’ala memberikan petunjuk-Nya kepada kita menuju jalan yang lurus.

Dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa definisi dari Mut’ah itu sendiri berasal dari kata tamattu’, yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah, mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya, jika salah satunya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mu’ah itu.

Pada masa awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya:
Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari 5117).
Namun Pembaca yang budiman, hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah. Adapun mengenai kapan dilarangnya? maka yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad, kemudian Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari, dan juga Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil
Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya:
Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari Muslim).

Kemudian Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata: Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim, dan Ahmad).
Dan juga masih banyak hadits-hadits shahih lainnya yang mengaharamkan nikah mut’ah.
Akan tetapi Pembaca yang budiman, meskipun sudah banyak dalil yang mengharamkan, tetap saja bagi Orang-orang yang berusaha untuk meracuni umat Islam, mereka membawa beberapa syubhat untuk menjadi tameng dalam mempertahankan tindakan keji mereka, adapun diantara Syubhat tersebut adalah
Pertama. Mereka berdalil dengan Firman Alloh Ta’ala: “Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka (para wanita) maka berikanlah mahar mereka” (QS. An-Nisa: 24).
Pembaca yang budiman, perintah Allah untuk memberikan mahar bagi wanita yang dimut’ah dalam ayat ini, merupakan dalil yang mereka jadikan untuk membolehkan nikah mut’ah.
Adapun Jawaban Atas Syubhat ini adalah:
Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah, akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka, maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian.

Dalam Tafsir Ath-Thabati, Imam Ath Thabari Berkata setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah: kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka, maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan haramnya nikah mut’ah.
Dan kalau kita menerima bahwa makna dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum diharamkan. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam tafsir Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir.
Kemudian, syubhat mereka yang lainnya adalah: Mereka mengatakan bahwa Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, diantaranya:
Dari jabir bin Abdullah berkata: Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga Abu Bakar sampai umar melarangnya.(HR. Muslim).

Adapun Jawaban dari syubhat ini adalah, bahwa Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan mut’ah. Selain itu, Berkata Imam Nawawi: Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang masih melakukan nikah mut’ah pada masa Abu bakar dan Umar belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut. Ini bisa kita lihat dalam kitab Syarah Shahih Muslim, Fathul bari, dan Zadul Ma’ad.
Selain itu Pembaca yang budiman, terdapat pula syubhat dari salah seorang tokoh Nikah Mut’ah kontermporer: Ia mengatakan bahwa Tidak semua orang mampu untuk menikah untuk selamanya, terutama para pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam hal seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka untuk terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji itu.

Adapun Jawaban atas Syubhat ini adalah:
Bahwasanya Ucapan ini salah dari pangkal ujungnya, cukup bagi kita untuk mengatakan tiga hal ini :
Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak pernah di jadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi. Bahkan mut’ah itu sendiri adalah zina dan boleh jadi lebih parah dari sekedar zina.
Kedua: ucapan ini hanya melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun kepada wanita yang dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan pelacuran komersil??
Ketiga: islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu pernikahan yang bersifat abadi, dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah, karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya”. (HR. Bukhari Muslim).

Demikianlah diantara syubhat-syubhat yang beredar di kalangan kaum muslimin mengenai nikah mut’ah atau kawin kontrak. Dan Alhamdulillah para ulama telah membrikan jawaban atas syubhat-syubhat tersebut, sehingga kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang sesat, sehingga kesimpulannya adalah, bahwa nikah mut’ah itu adalah pernikahan yang haram dan tidak sah, serta pelakunya tidak berbeda dengan orang yang berzina, kita berharap semoga Allah subhanahu Wata'ala selalu memberikan petunjuknya kepada kita, dan melindungi kita dari kesesatan.
Pembaca yang budiman, sampai disini kebersamaan kita di kesempatan kali ini, sampai jumpa kembali pada pertemuan berikutnya. Wallahu a’lam. Wassalamu 'Alaiku Warahmatullah Wabarokaatuh




Comments

TULISAN PALING POPULER