Skip to main content

Fatwa Lajnah Ilmiah HASMI tentang Hukum Nasyid Islami



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
FATWA
No. 008/LIF/HASMI/2011
HUKUM NASYID ISLAMI
Lajnah Ilmiah dan Fatwa Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami (HASMI) dalam sidangnya pada tanggal 24 Jumadil Ula 1432 H/28 April 2011 M, setelah membaca dan menelaah permintaan Ketua DPD HASMI kepada Lajnah Ilmiah dan Fatwa untuk membahas dan memutuskan tentang hukum nasyid Islami.
Berdasarkan hal tersebut, kemudian Lajnah Ilmiah dan Fatwa Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami (HASMI) melakukan kajian pembahasan sebagai berikut:
A. Landasan Dalil
1. Riwayat yang menyebutkan bahwa nasyid pernah dilantunkan pada perayaan pernikahan (walīmah ‘urs) dan hari raya ‘id, yang dilakukan oleh para wanita Shahabiyat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ( دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ بِهِ اْلأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ، قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَبِمَزْمُورِ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ ؟! وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : (( يَا أَبَا بَكْرٍ! إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا ))
Dari ‘Aisyah berkata: “Abu Bakar masuk ke dalam rumahku, dan bersamaku ada dua anak wanita kecil dari budak-budaknya kaum Anshar, keduanya bernyanyi dengan sya’ir yang kaum Anshar lantunkan saat terjadi perang Bu’ats.’. ‘Aisyah lalu berkata: “Mereka berdua bukanlah biduan.”. Maka Abu Bakar berkata: “Bolehkah (dawai) senar setan ada di rumah Rasulullah ?”. Hal itu terjadi pada saat hari raya. Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari besar, dan hari ini adalah hari besar kita.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
2. Riwayat yang menyebutkan bahwa nasyid pernah dilantunkan saat para Shahabat Nabi sedang menggali parit pada perang Ahzab. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh banyak periwayat tentang kisah penggalian parit tersebut, disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتِ اْلأَنْصَارُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ تَقُوْلُ: نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدًا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقَيْنَا أَبَدًا، فَأَجَابَهُمْ النَّبِيُّ فَقَالَ: (( اللَّهُمَّ لاَ عِيْشَ إِلاَّ عَيْشَ اْلآخِرَةِ فَأَكْرِمْ اْلأَنْصَارَ وَالْمُهَاجِرَةَ ))
Diriwayatkan dari Anas , ia berkata: “Pada saat perang Khondaq orang-orang Anshar berkata (melantunkan sya’ir): “Kami adalah orang-orang yang telah membaiat Muhammad untuk berjihad selama kami masih ada selama-lamanya”. Kemudian Nabi menjawab: “Ya Allah, tidak ada kehidupan selain kehidupan akhirat, maka muliakanlah kaum Anshar dan kaum Muhajirin”.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
B. Pandangan (ra’yu) Ulama
Para ulama di masa kini telah berselisih pendapat tentang hukum nasyid dan mendengarkannya dalam dua pendapat:
1. Pendapat Pertama, membolehkannya dengan syarat.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama pada masa kini. Di antara mereka yang membolehkan nasyid dengan beberapa syarat adalah anggota al-Lajnah ad-Dā’imah li al-Buhūts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftā’ di Arab Saudi, yaitu: Syaikh ‘Abdul ‘Azīz bin Bāz , ‘Abdur Razzāq ‘Afīfī, ‘Abdullah bin Qu’ūd , dan ‘Abdullah bin Ghudayyān . Demikian pula Syaikh Muhammad bin Shāleh al-‘Utsaimīn dan Muhammad al-Munajjid. Berikut adalah kutipan fatwa-fatwa mereka.
a. Fatwa al-Lajnah ad-Dā’imah:
Lajnah Dā’imah memberikan fatwa mengenai hukum “nasyid Islami”. Dan bunyi teksnya sebagai berikut: (Dari pernyataan si penanya, maka kami katakan bahwa) “Anda benar mengatakan bahwa lagu-lagu yang bentuknya seperti yang ada pada zaman sekarang ini hukumnya adalah haram karena berisi kata-kata yang tercela dan tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan cenderung mengagungkan nafsu dan daya tarik seksual, yang mengundang pendengarnya untuk berbuat tidak baik. Semoga Allah menunjukkan kita kepada jalan yang diridhoi-Nya. Anda boleh mengganti kebiasaan mendengarkan lagu-lagu semacam itu dengan nasyid atau sya’ir-sya’ir bernafaskan Islam karena di dalamnya terdapat hikmah, peringatan dan teladan (‘ibrah) yang mengobarkan semangat serta ghīrah dalam beragama, membangkitkan rasa simpati dan pencegahan diri dari segala macam bentuk keburukan. Seruannya dapat membangkitkan jiwa sang pelantun maupun pendengarnya agar berlaku taat kepada Allah , merubah kemaksiatan dan pelanggaran terhadap ketentuan-Nya, menjadi perlindungan dengan syariat serta berjihad di jalan-Nya.”
b. Fatwa Syaikh Muhammad Shāleh al-Munajjid (حفظه الله):
“Pertanyaan: Apa hukum nasyid Islami yang tidak terkontaminasi dengan musik?
Jawaban: Alhamdulillah.. di sana terdapat nash-nash shohihah lagi jelas dengan dalil yang bermacam-macam atas pembolehan menasyidkan sya’ir dan mendengarkannya. Dan benar bahwa Nabi dan para Shahabat telah mendengarkan sya’ir, menasyidkannya, dan meminta untuk diperdengarkan dari pihak selainnya baik dalam keadaan bersafar atau mukim, dalam majelis dan bekerja, baik dengan suara perorangan, seperti penasyid Hasan bin Tsābit, ‘Āmir bin al-Akwā’ dan Anjisyah , maupun nasyid yang berkelompok, seperti dalam hadits Anas dalam kisah penggalian parit, ia berkata: “Pada saat Rasulullah melihat apa yang menimpa kami dari keadan letih dan rasa lapar, maka beliau bersabda: “Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat... maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin...”. Maka para Sahabat menjawab: “Kami adalah orang-orang yang telah membai’at Muhammad... dengan jihad selama kami masih ada untuk selama-lamanya.”
Ini adalah dalil-dalil yang menunjukan bahwa nasyid adalah boleh, baik dengan suara perorangan ataupun berkelompok. Nasyid sendiri menurut bahasa Arab artinya “melantunkan suara dengan sya’ir yang indah.”. Namun, ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam perkara ini:
1) Tidak menggunakan alat musik yang semuanya telah diharamkan (apapun jenisnya) dalam nasyid tersebut.
2) Tidak banyak mendendangkannya, tidak menjadikannya sebuah kebiasaan, tidak setiap waktu, dan tidak membuatnya menyia-nyiakan kewajiban-kewajiban karenanya.
3) Tidak dilantunkan dengan suara wanita dan suara-suara yang mengandung kata-kata yang haram atau kotor.
4) Tidak menyerupai lantunan orang-orang fasik dan mereka yang tidak memiliki rasa malu.
5) Terbebas dari pengatur suara yang menghasilkan suara seperti suara piano (alat musik termasuk suara akapela).
6) Tidak memiliki irama musik tertentu dan melenakan pendengar sehingga memfitnahnya seperti orang yang mendengarkan nyanyian yang sebenarnya.
Yang seperti inilah yang kerap didapati pada hari-hari ini, sampai-sampai pendengarnya tidak lagi memperhitungkan apa yang terkandung di dalamnya dari segi makna yang berharga karena mereka disibukkan oleh irama dan hanyut dalam intonasinya. Dan Allah adalah pemberi taufiq.”
c. Fatwa Syaikh Muhammad bin Shāleh Al-‘Utsaimīn :
Ia pernah ditanya: Apa hukum mendengarkan nasyid? Apakah boleh bagi seorang da’i untuk mendengarkan nasyid Islami?
Ia menjawab, “Saya sudah lama mendengar nasyid-nasyid Islami dan tidak ada padanya sesuatu yang harus dijauhi. Tetapi, akhir-akhir ini aku mendengarnya, lalu aku mendapatinya (telah) dilagukan dan didendangkan menurut irama lagu-lagu yang diiringi musik. Maka nasyid-nasyid dalam bentuk seperti ini, saya tidak berpendapat boleh mendengarkannya.
Namun, jika nasyid-nasyid itu spontanitas, dengan tanpa irama dan lagu, maka mendengarkannya tidak mengapa. Tetapi dengan syarat, tidak menjadikannya sebagai kebiasaan untuk selalu mendengarkannya.
Syarat yang lain, tidak menjadikan hatinya (seolah) tidak memperoleh manfaat, kecuali dengannya, dan tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya. Karena dengan menjadikannya kebiasaan, maka ia telah meninggalkan yang lebih penting. Dan dengan tidak memperoleh manfaat serta tidak mendapatkan nasihat kecuali dengannya, berarti ia menyimpang dari nasihat yang paling agung. Yaitu, apa-apa yang tersebut di dalam Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.
Jika terkadang ia mendengarkannya (nasyid yang tidak mengandung larangan), atau ketika ia sedang menyetir mobilnya dalam perjalanan dan ingin menghibur diri, maka hal ini tidaklah mengapa. (al-Shahwah al-Islāmiyyah, hlm. 123 dan al-Qaul al-Mufīd fī Hukm al-Anāsyīd, hlm. 39)
d. Fatwa Syaikh al-Albānī :
Pertanyaan: Apa hukum nasyid yang banyak beredar di kalangan para syabab? Yang mereka menyebutnya dengan “nasyid Islami”?
Jawaban: Jika nasyid-nasyid tersebut mengandung nilai-nilai Islam dan tidak diiringi oleh alat-alat musik seperti duff (rebana), beduk dan sebagainya, maka ini suatu perkara yang yang tidak mengapa. Akan tetapi perlu penjelasan tentang syarat penting untuk kebolehannya, yaitu hendaknya nasyid tersebut bersih dari penyimpangan syar’i seperti berlebih-lebihan (ghuluw) dan lain sebagainya. Kemudian ada syarat lain yaitu tidak menjadikannya sebagai hobi atau kegemaran karena hal itu akan mencegah orang yang mendengarnya dari membaca al-Qur'an, padahal membaca al-Qur'an sangat dianjurkan dalam as-Sunnah yang suci. Demikian juga akan mencegah mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan berdakwah kepada jalan Allah . Adapun menggunakan rebana atau duff dalam nasyid, maka hal ini hanya boleh untuk kaum wanita di kalangan mereka saja, tidak boleh untuk kaum lelaki. Dan kebolehannya itu pun hanya pada saat hari raya atau ‘id dan pernikahan.”[1]
2. Pendapat Kedua, melarang nasyid karena nasyid digolongkan kepada as-sama’ ash-shūfī (bentuk menikmati alunan suara ala Shufi) yang bid’ah atau ghinā’ (nyanyian) yang haram.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah: Syaikh Shāleh al-Fauzān dan Syaikh Bakar Abū Zaid .
Golongan yang kedua ini mengajukan beberapa argumen di antaranya:
a. Nasyid adalah satu bentuk dari nyanyian (ghinā’) yang memang memiliki banyak bentuk dan ragam. Sedangkan dalil-dalil yang shahih telah jelas mengharamkan nyanyian.
b. Nasyid termasuk perkara yang bid’ah. Tidak pernah diriwayatkan di kalangan as-salaf ash-shaleh yang berkumpul untuk mendengarkan sesuatu selain al-Qur’an al-Karim. Selain itu termasuk sama’ (bentuk menikmati alunan suara) yang bid’ah. Nasyid ini menyerupai sama’ kaum shufi. Bentuk kesamaan antara keduanya jelas sekali.
· Nasyid tidak sunyi dari mahzhūr syar’i (sesuatu yang dilarang secara syar’i), seperti (1) langgam/irama yang kadang-kadang menyerupai lagu; (2) paduan suara (ash-shaut al-jamā’ī); (3) dijadikan salah satu sarana dakwah; (4) munsyidnya adalah anak muda yang amrad (belum tumbuh jenggotnya); dan lain-lain.
c. Bahaya (mafsadah) nasyid lebih banyak daripada maslahat atau manfaatnya seperti (1) membuat orang berpaling dari mendengarkan al-Qur’an dan as-Sunnah; (2) membuka celah masuknya bid’ah-bid’ah kaum Shufi; (3) bisa menjadi fitnah (godaan) bagi yang mendengarkannya, terlebih lagi jika munsyid-nya bersuara merdu dan empuk; (4) dijadikan salah satu sarana dakwah, sehingga ditinggalkanlah al-Qur’an dan as-Sunnah; dan (5) perhatian yang berlebih-lebihan terhadap nasyid dengan memproduksinya yang dapat memalingkan dari urusan-urusan agama seperti thalabul ‘ilmi, menyebarkan aqidah yang benar dan juga dari perkara-perkara dunia yang bermanfaat.
C. Beberapa Pertimbangan:
Dari penelitian terhadap dalil-dalil kedua kelompok di atas dan juga dengan mencermati hakikat nasyid, menjadi jelaslah bahwa nasyid yang beredar di kalangan kaum Muslimin saat ini memang memiliki beragam bentuk dan modelnya. Semua bentuk dan ragam nasyid tersebut bisa dikembalikan kepada pokok (ashl)nya yang tiga:
1. al-Hudā’, yaitu senandung yang diucapkan oleh pemandu unta dalam safarnya yang dengan senandung itu ia memandu langkah-langkah unta agar teratur dengan mengikuti irama senandungnya.
2. al-Ghinā’, yaitu nyanyian dengan berbagai ragam bentuknya.
3. as-Sama’ ash-Shūfi, yaitu bentuk menikmati alunan suara yang marak dilakukan oleh kaum Shufi seperti qasidah-qasidah keagamaan, shalawat yang dilantunkan dan nasehat-nasehat serta wejangan mereka.
Dengan demikian nasyid memiliki tiga hukum dengan rincian sebagai berikut:
Hukum Pertama, bolehnya mendengarkan nasyid karena tergolong dalam al-hudā’ yang diperbolehkan. Keserupaan nasyid dengan al-hudā’ ini dapat terwujud dengan beberapa syarat:
a. Langgam dan irama nasyid tersebut sederhana, tidak ada unsur berlebihan (takalluf) di dalamnya.
Ibnu Qudāmah berkata, “Adapun mendengarkan nasyid dan melantunkannya maka ia mubah, begitu pula nasyid al-A’rāb (nasyid orang-orang pedusunan) dan semua bentuk nasyid lainnya selama tidak masuk pada batasan ghinā’.”
Maksudnya, irama nasyid yang berlebihan akan menyeretnya kepada menyerupai ghinā’.
b. Maksud mendengarkan nasyid tersebut sekedar untuk tarwīh (refresing) dan nasyāth (mengembalikan semangat), bukan untuk peribadatan (ta’abbud) sebagaimana kaum Shufi, dan juga bukan untuk menikmati irama dan langgamnya (taladzdzudz), sebagaimana kebiasaan para pecinta ghinā’.
Imam asy-Syāfi’ī berkata, “Tidak ada pada nasyid yang mubah itu ildzādz (keinginan untuk menikmati iramanya), tidak juga ithrāb (membuat orang asyik dan terlena). Nasyid yang boleh itu sekedar untuk menyegarkan semangat.”
c. Lirik atau kalimat-kalimat nasyid tersebut tidak mengandung mahdzūr syar’i (larangan syar’i) seperti sarana untuk mempopulerkan slogan-slogan nasionalisme dan kesukuan atau lainnya.
d. Tidak disertai oleh musik atau suara manusia yang menyerupai musik (akapela).
e. Tidak menjadi suatu kegemaran yang dilakukan pada setiap waktu.
f. Tidak melalaikan orang-orang dari mendengarkan al-Qur’an atau ilmu yang bermanfaat atau urusan-urusan dunia lainnya yang penting.
Hukum Kedua, terlarangnya nasyid karena digolongkan kepada ghinā’ atau nyanyian yang digemari oleh orang-orang fasik. Keserupaan nasyid dengan ghinā’ ini terwujud dengan hal-hal berikut:
  • Adanya unsur berlebihan (takalluf) dan membuat-buat (tashannu’) dalam melantunkan irama nasyid. Karena takalluf dan tashannu’ semacam ini merupakan karakteristik para penyanyi.
  • Jika nasyid tersebut menyerupai irama nyanyian yang haram, baik dalam langgam, gaya, ataupun sebagian kata-kata dan liriknya.
  • Jika maksud dari melantunkan atau mendengarkan nasyid itu adalah ithrāb (mendapatkan kegembiraan atau keasyikan). Karena ini merupakan salah satu tujuan ghinā’ yang haram, bukan nasyid yang mubah.
  • Jika nasyid tersebut mengandung kata-kata “aaah” atau “oooh” yang dipanjangkan dan dilantunkan dengan seni tertentu, sehingga menyerupai perilaku para penyanyi.
  • Jika akhir kata-kata dari nasyid tersebut dilantunkan sedemikian panjang sebagaimana umumnya lagu-lagu.
  • Jika menyibukkan diri dengan nasyid atau mendengarkannya pada setiap saat sebagaimana para pecinta ghinā’ menyibukkan diri dengan ghinā’nya.
  • Jika disertai dengan alat musik atau rebana (duff) atau suara-suara yang mengasyikkan lainnya seperti tepuk tangan, siulan, hentakan kaki dan lain sebagainya.
  • Jika dalam melantunkannya disertai gerakan-gerakan nyanyian seperti melenggak-lenggok, menggerakkan kepala dan gerakan-gerakan lain yang menunjukkan keasyikan dan happy.

Hukum Ketiga, terlarangnya nasyid karena digolongkan ke dalam as-sama’ ash-shūfī. Sebagian nasyid terlarang dalam pandangan syara’ dan dihukumi bid’ah karena menyerupai senandung religius kaum Shufi. Suatu nasyid dihukumi bid’ah jika mengandung dua perkara:
a. Dalam melantunkannya mirip irama ghinā’ dari sisi adanya ithrāb yang menyertai nasyid.
b. Nasyid tersebut dijadikan suatu ibadah dan taqarrub kepada Allah .
Suatu nasyid dapat dianggap sebagai ibadah jika: (1) diyakini bahwa itu bagian dari agama; (2) meyakini bahwa mendengarkan nasyid termasuk syi’ar para pemuda yang multazim (aktifis) dan ciri keistiqamahan seseorang; (3) menganggap bahwa nasyid dapat menambah keimanan pendengarnya atau menggugah rasa takut, berharap dan mahabbah kepada Allah ; (4) dibentuk suatu halaqah untuk mendengarkannya sebagaimana halaqah dalam mendengarkan al-Qur’an; (5) demikian sibuk mendengarkan nasyid hingga mengisolir diri untuk mendengarkan al-Qur’an; (6) merasa tersentuh hatinya dengan nasehat-nasehat nasyid dan tidak tersentuh dengan nasehat-nasehat al-Qur’an; (7) lebih mendapat manfaat dari nasyid daripada dari al-Qur’an dan as-Sunnah; dan (8) menganggap bahwa nasyid sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan amal shaleh.[2]
D. Kesimpulan
Pada akhirnya Lajnah Ilmiah dan Fatwa Harakah Sunniyyah untuk Masyarakat Islami (HASMI) setelah melakukan pembahasan yang cukup panjang lebar dari berbagai sumber yang terpercaya, sampai pada kesimpulan untuk memutuskan bahwa:
1. Hukum asal nasyid adalah mubāh, yaitu boleh-boleh saja, baik dilantunkan oleh perorangan atau berkelompok. Asalkan tidak terdapat di dalamnya unsur-unsur kemungkaran dan dengan memperhatikan syarat-syarat pembolehannya yang telah ditetapkan oleh para ulama seperti yang telah dipaparkan di atas.
2. Nasyid tidak haram secara mutlak apabila memang tidak mengandung kemungkaran di dalamnya dan dapat menumbuhkan semangat juang serta mengingatkan manusia untuk kembali kepada Allah . Jika demikian, maka nasyid hukumnya adalah boleh, karena hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, dengan catatan hal tersebut tidak dijadikan sebagai rutinitas yang dapat menghalangi seseorang dari berdzikir kepada Allah , atau bahkan menjadi pengganti dari membaca al-Qur’an, na’ūdzu billah min dzālik. Karena kalau kasusnya demikian, maka nasyid hukumnya menjadi haram, dan keharamannya karena telah melenakannya dan menghalanginya dari hal-hal yang lebih baik dan bahkan bernilai ibadah.
3. Sebuah nasyid bisa dihukumi terlarang atau haram jika menyerupai nyanyian atau as-sama’ ash-shūfī dalam langgam, lirik, gaya ataupun modelnya.
4. Yang harus diperhatikan terkait dengan kebolehan nasyid ialah tidak boleh menjadikannya sebagai suatu kebiasaan yang dilakukan dengan terus menerus atau rutinitas yang digandrungi. Tetapi hendaknya dilakukan sesekali (tempo-tempo), yaitu ketika ada momentum (munāsabah) yang memerlukan adanya nasyid seperti walīmah ‘urs, safar (bepergian), jihad dan sebagainya. Juga ditujukan untuk membangkitkan semangat dalam kebaikan dan mencegah jiwa dari cenderung kepada keburukan.
Demikianlah yang dapat kami simpulkan dari pembahasan para ulama tentang hukum nasyid Islami.
والله ولي التوفيق
وصلى الله على نبينا محمد
وآله وصحبه وسلم



Bogor,
24 Jumadil Awwal 1432 H
28 April 2011 M
LAJNAH ILMIAH DAN FATWA
HARAKAH SUNNIYYAH UNTUK MASYARAKAT ISLAMI
Ketua

Rahendra Maya, S.Th.I, M.Pd.I
Anggota Lajnah Ilmiah dan Fatwa:
1
Ibrahim Bafadhal, S.H.I
2
Arifin, S.H.I
3
Sholahudin, Lc
4
Ahmad Nur Rifa’i, Lc
5
Faishal Hamzah, Lc
6
Wawang Julianto, Lc
7
Zainal Arifin, Lc
Mengetahui
DEWAN PIMPINAN PUSAT
HARAKAH SUNNIYYAH UNTUK MASYARAKAT ISLAMI
Ketua
Dr. Muhammad Sarbini, M.H.I



[1] Teksnya sebagai berikut:
س: ما هو حكم الأناشيد المتداولة بين كثير من الشباب، ويسمونها (أناشيد إسلامية)؟
ج : إذا كانت هذه الأناشيد ذات معان إسلامية، وليس معها شئ من المعازف وآلات الطرب كالدفوف والطبول ونحوها، فهذا أمر لا بأس به. ولكن؛ لابد من بيان شرط مهم لجوازها، وهو: أن تكون خالية من المخالفات الشرعية، كالغلو ونحوه. ثم شرط آخر، وهو عدم اتخاذها ديدناً، إذ ذلك يصرف سامعيها عن قراءة القرآن الذي ورد الحض عليه في السنة النبوية المطهرة، وكذلك يصرفهم عن طلب العلم النافع، والدعوة إلى الله سبحانه، أما استعمال الدفوف مع الأناشيد، فجائز للنساء فيما بينهن دون الرجال، وفي العيد والنكاح فقط. انتهى كلام الالباني من فتاوى مهمة لنساء الأمة.
[2] Pembahasan lengkap dan mendalam, lihat Hukm Mumārasah al-Fann fī asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah, karya Shāleh bin Ahmad al-Ghazālī, Riyadh: Dār al-Wathan, 1417 H, hlm. 136-157.

Comments

Post a Comment

TULISAN PALING POPULER