DEFINISI DZOLIM ATAU ZALIM
Kata zalim berasal dari bahasa Arab, dengan huruf “dzo la
ma” (ظ ل م )
yang bermaksud gelap. Di dalam Al Quran menggunakan kata zhulm selain
itu juga digunakan kata baghy, yang artinya juga sama dengan zalim
yaitu melanggar haq orang lain. Namun demikian pengertian zalim lebih luas
maknanya ketimbang baghyu, tergantung kalimat yang disandarkannya.
Kezaliman itu memiliki berbagai bentuk di antaranya adalah syirik.
Kalimat zalim bisa juga digunakan untuk melambangkan sifat kejam,
bengis, tidak berperikemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan
kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda,
ketidak adilan dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim
tersebut, yang mana pada dasarnya sifat ini merupakan sifat yang keji dan hina,
dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya
menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.
BAGAIMANA JIKA ANDA & KITA DIZALIMI ATAU DIZOLIMI?
Ketika dizalimi, umumnya manusia melakukan tiga
hal ini
Pertama, Membalas kezaliman dengan yang semisalnya.
Kedua, Bersabar, memaafkan dan membuat perbaikan.
Ketiga, Membalas kezaliman dengan yang lebih
parah.
Tentang ketiga hal ini,
Allah Ta'ala berfirman,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka Barang siapa memaafkan dan
berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia
tidak menyukai orang-orang yang zalim." (QS. Al-Syura: 40)
Dalam ayat ini
disebutkan tiga tingkatan dalam merespon tindak kezaliman. Yaitu adil, utama,
dan zalim.
Pertama, Membalas dengan hal yang serupa
Tindakan ini
diperbolehkan.
Dalam firmanNya Allah
menyebutkan, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa."
Tindakan kejahatan dibalas dengan kejahatan serupa tidak melebihi dan tidak
menguranginya. Ini dinilai lebih adil dan memuaskan jiwa orang yang dizalimi.
Karenanya Islam menyariatkan qishahs. Yaitu membunuh dibalas bunuh, melukai
dibalas melukai yang serupa, dan selainnya. Ini seperti firman Allah yang lain,
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
"Oleh sebab itu
barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu." (QS. Al-Baqarah: 194)
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
"Dan jika kamu
memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS. Al-Nahl: 126)
"Bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barang siapa
yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya." (QS. Al-Maidah: 45)
Namun perlu diingat,
siapa yang membalas kejahatan dengan yang serupa ia tidak mendapat dosa dan
tidak pula mendapat pahala.
Mendoakan keburukan bagi
orang zolim pun dibolehkan
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا
مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan
terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Nisa’: 148)
Ibnu Abbas berkata tentang ayat ini: “Allah tidak suka seseorang
mendoakan keburukan untuk selainnya, kacuali ia dalam keadaan dizalimi. Allah
memberikan keringanan baginya untuk mendoakan keburukan atas orang yang
menzaliminya.dan itu ditunjukkan oleh firman-Nya, “Kecuali oleh orang yang
dianiaya.” (namun), jika bersabar maka itu lebih baik baginya. (Lihat Tafsir
Ibnu Katsir terhadap ayat di atas)
Firman Allah yang lain,
وَلَمَنِ انْتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِ فَأُولَئِكَ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ
سَبِيلٍ
“Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya,
tidak ada suatu dosa pun atas mereka.” (QS. Al-Syuura: 41)
Kedua, Memaafkan
Ini adalah tindakan yang
paling utama bahkan berpahala, yakni dengan memaafkan dan berbuat baik kepada
orang yang telah berbuat buruk kepadanya. Ini ditunjukkan oleh kalimat, "Maka
Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah."
Artinya, Allah akan memberikan ganjaran yang besar dan pahala yang banyak
kepadanya.
Ibnu Katsir berkata:
"Maksudnya: Allah tidak akan menyia-nyiakan sikapnya itu di sisi-Nya.
Tetapi Allah akan memberikan pahala yang besar dan balasan baik yang setimpal.
Disebutkan dalam hadits shahih, "Tidaklah Allah menambah kepada hamba
melalui maaf yang ia berikan kecuali kemuliaan"." (HR. Muslim)
Allah menyiapkan pahala
besar kepada orang yang memaafkan karena ia memperlakukan hamba dengan sesuatu
yang ia suka jika Allah memperlakukan dirinya dengan hal itu. Ia suka kalau
Allah memaafkan kesalahannya, karenanya ia memaafkan orang yang telah berbuat
salah kepada dirinya. Karena balasan sesuai dengan jenis amal. (Lihat Tafsir
Al-Sa'di)
Namun di sini ada
syaratnya, memaafkan tersebut menimbulkan perbaikan. Maka jika orang yang
berbuat jahat dimaafkan ia tetap pada kejahatannya atau akan berbuat jahat
kepada selainnya atau akan lebih banyak lagi membuat kerusakan maka syariat
memerintahkan untuk menghukumnya. Orang seperti ini tidak layak mendapat
dimaafkan. Karenanya tidak disyariatkan memberikan maaf kepadanya.
Ketiga, membalas
dengan berlebihan.
Tindakan ketiga ini
diharamkan, sebagaimana Allah berfirman : "Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim.” Yaitu orang yang memulai berbuat
buruk kepada orang lain atau membalas keburukan orang lain dengan yang lebih
banyak daripada keburukannya. Maka kelebihan tersebut dinilai sebagai perbuatan
zalim.
PAHALA BAGI YANG MEMAAFKAN KEZALIMAN ORANG LAIN
Kemuliaan yang kita bisa dapat dari memaafkan kesalahan orang yang
mendzolimi kita. Diantaranya adalah :
1. Mendatangkan kecintaan dari sesama
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat
Fushshilat ayat 34-35: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. Dan sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushshilat: 34-35)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan: “Bila kamu
berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadamu maka kebaikan ini akan
menggiring orang yang berlaku jahat tadi merapat denganmu, mencintaimu, dan
condong kepadamu sehingga dia (akhirnya) menjadi temanmu yang dekat. Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: ‘Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan
orang beriman untuk bersabar di kala marah, bermurah hati ketika diremehkan,
dan memaafkan di saat diperlakukan jelek. Bila mereka melakukan ini maka Allah
Subhanahu wa ta’ala menjaga mereka dari (tipu daya) setan dan musuh pun tunduk
kepadanya sehingga menjadi teman yang dekat’.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim
4/109)
2. Mendapat pembelaan dari Allah Ta’ala
Al-Imam Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku punya kerabat. Aku berusaha menyambungnya namun mereka
memutuskan hubungan denganku. Aku berbuat kebaikan kepada mereka namun mereka
berbuat jelek. Aku bersabar dari mereka namun mereka berbuat kebodohan
terhadapku.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Jika benar yang kamu ucapkan maka seolah-olah
kamu menebarkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapat penolong
dari Allah atas mereka selama kamu di atas hal itu.” (HR. Muslim)
3. Memperoleh ampunan dan kecintaan dari Allah
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: “Dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka
sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun:
14)
Abu Bakr radhiyallahu’anhu dahulu biasa
memberikan nafkah kepada orang-orang yang tidak mampu, di antaranya Misthah bin
Utsatsah. Dia termasuk famili Abu Bakr dan muhajirin. Di saat tersebar berita
dusta seputar ‘Aisyah binti Abi Bakr istri Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam,
Misthah termasuk salah seorang yang menyebarkannya. Kemudian Allah menurunkan
ayat menjelaskan kesucian ‘Aisyah dari tuduhan kekejian. Misthah pun dihukum
dera dan Allah Subhanahu wa ta’ala memberi taubat kepadanya. Setelah peristiwa
itu, Abu Bakr radhiyallahu’anhu bersumpah untuk memutuskan nafkah dan pemberian
kepadanya. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan
orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah
adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (An-Nur: 22)
Abu Bakr mengatakan: “Betul, demi Allah. Aku
ingin agar Allah mengampuniku.” Lantas Abu Bakr radhiyallahu’anhu kembali
memberikan nafkah kepada Misthah. (lihat Shahih Al-Bukhari no. 4750 dan Tafsir
Ibnu Katsir 3/286-287)
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Sayangilah –makhluk– maka kamu akan disayangi Allah, dan
berilah ampunan niscaya Allah mengampunimu.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad
no. 293)
Al-Munawi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu
wa ta’ala mencintai nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang di antaranya adalah
(sifat) rahmah dan pemaaf. Allah juga mencintai makhluk-Nya yang memiliki sifat
tersebut.” (Faidhul Qadir 1/607)
Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai orang
yang memaafkan, karena memberi maaf termasuk berbuat baik kepada manusia.
Sedangkan Allah Subhanahu wa ta’ala cinta kepada orang yang berbuat baik,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (Ali ‘Imran: 134)
4. Mulia di sisi Allah maupun di sisi manusia
Suatu hal yang telah diketahui bahwa orang yang
memaafkan kesalahan orang lain, disamping tinggi kedudukannya di sisi Allah
Subhanahu wa ta’ala, ia juga mulia di mata manusia. Demikian pula ia akan
mendapat pembelaan dari orang lain atas lawannya, dan tidak sedikit musuhnya
berubah menjadi kawan. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Shadaqah –hakikatnya– tidaklah mengurangi
harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba karena memaafkan kecuali
kemuliaan, dan tiada seorang yang rendah hati (tawadhu’) karena Allah melainkan
diangkat oleh Allah.” (HR. Muslim dari
Abu Hurairah z)
Seseorang yang disakiti oleh orang lain dan
bersabar atasnya serta memaafkannya padahal dia mampu membalasnya maka sikap
seperti ini sangat terpuji. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya): “Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk
melakukan –pembalasan– maka Allah akan memanggilnya di hari kiamat di hadapan
para makhluk sehingga memberikan pilihan kepadanya, bidadari mana yang ia
inginkan.” (Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3394)
KISAH KETELADANAN DALAM MEMAAFKAN.
Orang yang mulia selalu menghiasi dirinya dengan
kemuliaan dan selalu berusaha agar dalam hatinya tidak bersemayam sifat-sifat
kejelekan. Para Nabi Allah merupakan teladan dalam hal memaafkan kesalahan
orang. Misalnya adalah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Beliau telah disakiti oleh
saudara-saudaranya sendiri dengan dilemparkan ke dalam sumur, lantas dijual
kepada kafilah dagang sehingga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
dengan menanggung penderitaan yang tiada taranya. Namun Allah Subhanahu wa
ta’ala berkehendak memuliakan hamba-Nya melalui ujian ini. Allah pun mengangkat
kedudukan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam sehingga menjadi bendahara negara di Mesir
kala itu. Semua orang membutuhkannya, tidak terkecuali saudara-saudaranya yang
dahulu pernah menyakitinya. Tatkala mereka datang ke Mesir untuk membeli
kebutuhan pokok mereka, betapa terkejutnya saudara-saudara Nabi Yusuf ketika
tahu bahwa Nabi Yusuf ‘Alaihissalam telah diangkat kedudukannya sebegitu
mulianya. Mereka pun meminta maaf atas kesalahan mereka selama ini. Nabi Yusuf
‘Alaihissalam memaafkannya dan tidak membalas. Beliau mengatakan:
“Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kalian,
mudah-mudahan Allah mengampuni (kalian), dan Dia adalah Maha penyayang di
antara para Penyayang.” (Yusuf: 92)
Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Khidhir, ketika
keduanya melakukan perjalanan dan telah sampai pada penduduk suatu negeri.
Keduanya meminta untuk dijamu oleh penduduk negeri itu karena mereka adalah
tamu yang punya hak untuk dijamu. Namun penduduk negeri itu tidak mau menjamu.
Ketika keduanya berjalan di negeri itu, didapatkannya dinding rumah yang hampir
roboh, maka Nabi Khidhir ‘Alaihissalam menegakkan dinding tersebut.
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa
sallam, beliau adalah manusia yang terdepan dalam segala kebaikan. Pada suatu
ketika ada seorang wanita Yahudi memberi hadiah kepada Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam berupa daging kambing. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tidak tahu
ternyata daging itu telah diberi racun. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam pun
memakannya. Setelah itu Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam diberi tahu bahwa
daging itu ada racunnya. Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berbekam dan dengan
seizin Allah Subhanahu wa ta’ala beliau tidak meninggal. Wanita tadi dipanggil
dan ditanya maksud tujuannya. Ternyata dia ingin membunuh Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memaafkan
dan tidak menghukumnya. (Bisa dilihat di Shahih Al-Bukhari no. 2617 dan Zadul
Ma’ad 3/298)
MEMAAFKAN TIDAK SELAMANYA BAIK.
Memaafkan kesalahan orang lain akan terpuji bila
kesalahan itu berkaitan dengan hak pribadi dan tidak berkaitan dengan hak Allah
Subhanahu wa ta’ala. ‘Aisyah radhiyallahu’anha berkata: “Tidaklah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam membalas atau menghukum karena dirinya
(disakiti) sedikit pun, kecuali bila kehormatan Allah dilukai. Maka beliau menghukum
dengan sebab itu karena Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, tidaklah beliau disakiti
pribadinya oleh orang-orang Badui yang kaku perangainya, atau orang-orang yang
lemah imannya, atau bahkan dari musuhnya, kecuali beliau memaafkan. Ada orang
yang menarik baju Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dengan keras hingga
membekas pada pundaknya. Ada yang menuduh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
tidak adil dalam pembagian harta rampasan perang. Ada pula yang hendak membunuh
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam namun gagal karena pedang terjatuh dari
tangannya. Mereka dan yang berbuat serupa dimaafkan oleh Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam. Ini semua selama bentuk menyakitinya bukan
melukai kehormatan Allah Subhanahu wa ta’ala dan permusuhan terhadap
syariat-Nya. Namun bila menyentuh hak Allah dan agamanya, beliau pun marah dan
menghukum karena Allah serta menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar.
Oleh karena itu, beliau melaksanakan cambuk terhadap orang yang menuduh istri
beliau yang suci berbuat zina. Ketika menaklukkan kota Makkah, beliau memvonis
mati terhadap sekelompok orang musyrik yang dahulu sangat menyakiti Nabi karena
mereka banyak melukai kehormatan Allah Subhanahu wa ta’ala. (disarikan dari
Al-Adab An-Nabawi hal. 193 karya Muhammad Al-Khauli)
Kemudian, pemaafan dikatakan terpuji bila muncul
darinya akibat yang baik, karena ada pemaafan yang tidak menghasilkan
perbaikan. Misalnya, ada seorang yang terkenal jahat dan suka membuat kerusakan
di mana dia berbuat jahat kepada anda. Bila anda maafkan, dia akan terus berada
di atas kejahatannya. Dalam keadaan seperti ini, yang utama tidak memaafkan dan
menghukumnya sesuai kejahatannya sehingga dengan ini muncul kebaikan, yaitu
efek jera. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan: “Melakukan
perbaikan adalah wajib, sedangkan memaafkan adalah sunnah. Bila pemaafan
mengakibatkan hilangnya perbaikan berarti mendahulukan yang sunnah atas yang
wajib. Tentunya syariat ini tidak datang membawa hal yang seperti ini.” (lihat
Makarimul Akhlaq karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 20)
Diambil dan disusun dari berbagai sumber :
https://may2sdiary.wordpress.com/2013/10/29/apa-yang-harus-dilakukan-jika-kita-didzolimi-orang-lain/
https://www.nahimunkar.org/akibat-berbuat-zalim/
http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/11/12/21619/macammacam-sikap-muslim-saat-dizalimi/;#sthash.lHFsyj4M.dpbs
Kata Kunci
Zolim, Zalim, Dzalim, Dzolim
Orang Zalim, Orang Dzalim, Orang Lain yang zalim, Menzalimi kita, Menzolimi, Mendzolimi kita.
Mendoakan, Membalas, Memaafkan.
8 Casino Games to Play for Real Money | dmgc.com
ReplyDeleteA no deposit bonus, for instance, gives 서산 출장샵 you one free bet when 경상북도 출장마사지 you sign up and deposit bet365 at least $50 or more 남원 출장마사지 to your 청주 출장안마 account.